Peran Muslimah (Ilustrasi) |
Betapa banyak problem yang dihadapi umat Islam pada hari ini, baik itu problem internal maupun eksternal. Di antara problem internal penting adalah menyangkut ketidaktahuan mayoritas umat Islam terhadap ajaran agamanya. Fenomena ketidaktahuan ini nampak jelas pada pola pikir, perilaku, dan gaya hidup mereka yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.
Sementara itu, musuh-musuh Islam berusaha keras merusak Islam dan menjauhkan umatnya dari ajaran yang benar terhadap agamanya. Dengan berbagai kecanggihan teknologi modern yang dimilikinya, mereka tidak pernah merasa bosan menghancurkan Islam dan umatnya. Maka, lengkap sudah ancaman yang dihadapi umat Islam. Dalam keadaan seperti ini, umat Islam tidak boleh tinggal diam. Dakwah merupakan salah satu jalan yang harus ditempuh.
Allah berfirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali ‘Imran: 104)
Berdakwah merupakan kewajiban setiap muslim, baik laki-laki maupun wanita. Sejak awal sejarah Islam, wanita memiliki peranan penting dalam penyebaran dakwah Islam. Orang yang paling pertama menjawab dakwah Rasulullah adalah wanita, yaitu Khadijah. Ia membantu dakwah Rasulullah dengan mengorbankan harta yang dimilikinya. Selain Khadijah, ‘Aisyah juga memiliki peran yang sering menjadi tempat untuk menanyakan berbagai persoalan keislaman, baik pada saat Rasulullah masih hidup maupun setelah kepergiannya.
Kiprah muslimah dalam lapangan dakwah pada hari ini juga sangat penting. Banyak permasalahan dakwah yang seharusnya dilakukan oleh mereka dan lebih efektif jika diselesaikan oleh mereka, misalnya permasalahan yang berkaitan dengan dakwah kepada kaum wanita. Wanita tentu lebih mudah dan lebih leluasa dalam menjalankan misi dakwah kepada sesama kaumnya. Di sisi lain, kaum wanita kelak akan menjadi ibu dan madrasah pertama untuk anak-anaknya yang akan berjuang menjadi generasi penerus bangsa sesuai dengan ajaran agamanya
Wanita tidak jauh berbeda dengan laki-laki. Ia wajib berdakwah dan beramar ma’ruf nahi mungkar dengan adab syar’i dan tabiat kewanitaannya. Di sela kewajibannya sebagai seorang da’iyah,, ia harus pandai mengatur waktunya dan memilih prioritas amal, antara mengembangkan potensi diri dengan keimanan dan menyucikannya dengan ibadah. Ia juga harus mengubah kebiasaannya secara keseluruhan, dari paradigma sekuler menjadi paradigma yang Islami. Oleh karena itu, jika seorang muslimah telah berhasil menunaikan kewajibannya di rumah, ia akan berhasil menunaikan kewajiban di luar rumah.
Seorang muslimah hendaknya tidak melupakan kewajiban terhadap ilmu pengetahuan dan semua hal yang bermanfaat bagi dirinya. Dengan demikian, ia akan senantiasa belajar, mengajar, dan berdakwah kepada Allah dengan segala macam cara yang sesuai dengan tabiatnya sebagai seorang wanita.
Seorang wanita memiliki beban berat yang terkadang tidak disadarinya, yaitu beban untuk berdakwah. Oleh karena itu, ia tidak boleh mengharap balasan kecuali dari Allah dan meremehkan amalan sekecil apapun. Ia adalah da’iyah di rumahnya. Objek dakwahnya adalah anak-anaknya. Materi dakwahnya adalah pergaulan yang baik, mengarahkan mereka agar ikut andil dalam berdakwah, dan memotivasi mereka dalam hal ini dengan segala cara yang mungkin dikerjakan. Hendaknya medan dakwah seorang wanita lebih menyeluruh dan umum, yaitu mencakup para siswi, ustadzah, dan ibu-ibu.
Ia harus sadar bahwa di depannya telah terbentang jalan yang tidak mudah untuk dilalui, yang membutuhkan keinginan kuat, tekad yang bulat, niat yang tulus, kesungguhan, dan waktu. Hendaknya ia tidak berharap untuk segera mendapatkan buah dari dakwah. Hendaknya pula ia bergembira dengan pertolongan dari Allah sesuai dengan kadar usahanya. Seoang da’iyah harus membekali diri dengan ilmu syar’i dan mencarinya secara langsung dari sumber yang jernih agar bisa menyeru manusia dengan bashirah (ilmu). Allah berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf: 108).
Orang berilmu memiliki kedudukan yang tinggi di mata manusia. Ia menjadi tempat rujukan dan perkataannya lebih didengar dari orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak berilmu, perannya di masyarakat lebih terbatas.
Di antara hal-hal yang dapat dilakukan oleh seorang muslimah ketika menempuh jalan dakwah adalah:
* Berusaha memahami setiap permasalahan dan cepat mengambil inisiatif
Seorang muslimah hendaknya mengetahui dunia wanita secara rinci dan detail. Pengetahuan seorang da’iyah tentang hal ini merupakan sebab paling dominan yang menjadikannya mampu untuk mengadakan pengarahan dan perbaikan. Ia harus cekatan dalam mengambil inisiatif. Seorang da’iyah harus memiliki perencanaan, tidak mudah emosi, serta mengetahui langkah dan peluang. Seorang daiyah harus memiliki retorika dan peluang bagi wanita dewasa, seperti ibu-ibu, berbeda dengan retorika dan peluang bagi pelajar sekolah tingkat menengah dan mahasiswi.
Materi dakwah yang disampaikan harus rasional dan hendaknya ia mengetahui bahwa ada beberapa metode dakwah yang harus diterapkan secara bertahap, terlebih dalam menjalankan program dan perubahan. Seorang daiyah juga harus bersikap rasional dengan melihat potensi positif dan negatif yang ada sepanjang perjalanan dakwah.
* Berusaha menjadi teladan yang baik
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah untuk mengajarkan akhlak yang mulia kepada semua. Diantaranya rasa malu, yang merupakan bagian dari cabang keimanan. Termasuk rasa malu yang diperintahkan oleh syariat adalah kebiasaan dan akhlak mulia seorang wanita yang dapat menjauhkan dari tempat-tempat fitnah dan meragukan. Realisasi dari rasa malu seorang wanita adalah dengan mengenakan hijab, menutup wajah dan bagian tubuh lain yang dapat menimbulkan fitnah.
Secara hukum seorang wanita tidak boleh bercampur baur dengan laki-laki, baik di tempat kerja maupun di sekolah. Karena campur baur antara laki-laki dan wanita akan menimbulkan banyak kerusakan, minimal hilangnya rasa malu dan rasa takut seorang wanita terhadap laki-laki. Oleh karena itu, konsisten dengan mengenakan hijab syar’i merupakan contoh dari bentuk iffah (menjaga kesucian diri), menjaga diri dari laki-laki asing (non mahram) dan menjauhi segala bentuk ikhtilath (campur baur).
Demikianlah kedudukan wanita dalam syariat Islam. Ia adalah mitra dari risalah mulia dan manhaj yang terang ini. Ia adalah pencetak generasi masa depan, guru para pejuang, penyedia stok pahlawan, dan penghantar umat ini pada tempat kembali yang baik. Islam tidak mengharamkan wanita untuk beraktivitas di luar rumah, seperti mengajar sesamanya, atau beraktivitas di tempat yang tertutup, kesuciannya terjaga, tidak ada yang menyakitinya, dan tidak menimbulkan fitnah.
Hal ini disebabkan oleh wanita yang juga memiliki akal, pemikiran, dan anugerah lain yang harus senantiasa dikembangkan dan dimanfaatkan sebagaimana laki-laki, hingga menjadi daiyah dan melaksanakan hukum-hukum Rabb-nya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk dari golongan orang-orang yang mau mendengarkan dan mengikuti perkataan yang dibawa oleh Rasulullah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan semua shahabatnya.
——-
Penulis: Nurul Hidayah
Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Referensi: Abdullah bin Ahmad Al-‘Alaf Al-Ghamidi. Kiprah Dakwah Muslimah. Pustaka Arafah.
Artikel Muslimah.or.id
Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/8416-kiprah-muslimah-dalam-berdakwah.html